Oleh : Yovi Citra Nengsih
Keberatan
dan Banding
1.
Pemeriksaan
Pajak
Menurut
KUP Pasal 1 nomor 25, Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan
mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan
profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
a .
Tujuan
Pemeriksaan Pajak
KUP
Pasal 29 ayat 1 menjelaskan tujuan dari pemeriksaan pajak adalah sebagai
berikut:
1) Direktorat
Jendral Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak, seperti
a)
SPT
lebih bayar termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan pajak;
b)
SPT
rugi;
c)
SPT
tidak atau terlambat (melampaui jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat
Teguran) disampaikan;
d)
Melakukan
penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya; atau
e)
Menyampaikan
SPT yang memenuhi kriteria seleksi berdasarkan hasil analisis (risk based selection) mengindikasikan
adanya kewajiban perpajakan WP yang tidak dipenuhi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
2) Untuk
tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, antara lain :
a)
Pemberian Nomor Pokok
Wajib Pajak secara jabatan selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata
cara Verifikasi.
b)
Penghapusan Nomor Pokok
Wajib Pajak selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara Verifikasi.
c)
Pengukuhan atau
pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain yang dilakukan berdasarkan
Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur
mengenai tata cara Verifikasi.
d)
Wajib Pajak mengajukan
keberatan.
e)
Pengumpulan bahan guna
penyusunan norma penghitungan penghasilan neto.
f)
Pencocokan data
dan/atau alat keterangan.
g)
Penentuan Wajib Pajak
berlokasi di daerah terpencil.
h)
Penentuan satu atau
lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai.
i)
Memeriksaan dalam
rangka penagihan pajak.
j)
Penentuan saat produksi
dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan
pemberian fasilitas perpajakan dan/atau
k)
Memenuhi permintaan
informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.
b.
Kriteria
Pemeriksaan
1) Pemeriksaan
Rutin, yaitu pemeriksaan yang bersifat rutin dilakukan terhadap Wajib Pajak
(WP) sehubungan dengan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan.
2) Pemeriksaan
Khusus atau pemeriksaan berdasarkan analisis risiko (risk based audit), yaitu pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib
Pajak (WP) yang berdasarkan hasil analisis risiko secara manual atau
terkomputerisasi, menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan.
c.
Jenis
dan Jangka Waktu Pemeriksaan
1)
Jenis
Pemeriksaan
Terdapat dua
ruang lingkup pemeriksaan pajak yaitu :
a) Pemeriksaan
kantor, yaitu pemeriksaan yang dilakukan di Kantor Dierktorat Jendral Pajak.
b) Pemeriksaan
lapangan, yaitu pemeriksaan yang dilakukan ditempat kedudukan, tempat kegiatan
usaha, atau pekerjaan bebas, tempat tinggal Wajib Pajak, atau tempat lain yang
ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Tetapi prakteknya, dari definisi
tadi pemeriksa pajak "mengartikan" tempat lain sebagai kantor DJP.
Sehingga (prakteknya) sebagian besar pemeriksaan lapangan tetap dilakukan di
kantor pajak.
2)
Jangka
Waktu Pemeriksaan
a) Pemeriksaan
Kantor dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat
diperpanjang menjadi 6 (enam) bulan yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak
datang memenuhi surat panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan
tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.
b) Pemeriksaan
Lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan dan dapat
diperpanjang menjadi paling lama 8 (delapan) bulan yang dihitung sejak tanggal
Surat perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.
d. Kewajiban dan hak Wajib Pajak dalam
pemeriksaan
1)
Kewajiban Wajib Pajak yang diperiksa
adalah:
a) Memenuhi panggilan untuk datang
menghadiri Pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan khususnya untuk
jenis Pemeriksaan Kantor;
b) Memperlihatkan dan/atau meminjamkan
buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain termasuk
data yang dikelolah secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang
diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang
terutang pajak. Khusus untuk Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib memberikan
kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara
elektronik;
c) Memberikan kesempatan untuk memasuki
tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan lainnya guna
kelancaran pemeriksaan;
d) Menyampaikan tanggapan secara
tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan;
e) Meminjamkan kertas kerja pemeriksaan
yang dibuat oleh Akuntan Publik khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor;
f) Memberikan keterangan lain baik
lisan maupun tulisan yang diperlukan.
2)
Hak-hak Wajib Pajak dalam
pemeriksaan
a)
Hak-hak Wajib Pajak dalam pemeriksaan antara lain:
b)
Meminta Surat Perintah Pemeriksaan
c)
Melihat Tanda Pengenal Pemeriksa
d) Mendapat penjelasan mengenai maksud
dan tujuan pemeriksaan
e)
Meminta rincian perbedaan antara hasil pemeriksaan dan SPT
f)
Hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas
waktu yang ditentukan
e.
Alur
Pemeriksaan Pajak
1) Penugasan/Persetujuan/Instruksi
Pemeriksaan
Tak ada suatu tindakan tanpa
instruksi. Demikian juga dengan pemeriksaan pajak. Pelaksanaan pemeriksaan
berada di ranah Kantor Pelayanan Pajak atas instruksi dari Kantor wilayah dan
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak. Instruksi itu terjadi karena:
a) Dalam rangka pemeriksaan rutin
berupa daftar nominatif usulan dari KPP. atau ;
b) Dalam rangka Pemeriksaan khusus
berupa analisis risiko oleh KPP (bottom up) atau kantor wilayah dan
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (top down).
2)
Perencanaan Pemeriksaan
Perencanaan pemeriksaan dimulai
dengan pembentukan tim pemeriksa pajak. Tim pemeriksa pajak terdiri dari :
a)
Fungsional pemeriksa, terdiri dari : seorang supervisor,
seorang ketua tim, seorang atau beberapa anggota tim.
b)
Tenaga ahli di luar Direktorat Jenderal Pajak (jika
diperlukan), contoh : penerjemah, ahli informatika.
Supervisor kemudian membuat rencana pemeriksaan (Audit
Plan) yang terdiri dari rencana pos-pos yang akan diperiksa.
Lingkup pemeriksaan dan pos-pos yang akan diperiksa kemudian dijabarkan lebih
rinci di Audit Program yang terdiri dari metode, teknik, dan
prosedur pemeriksaan.
3)
Penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) &
Pemberitahuan Pemeriksaan ke WP
Penerbitan SP2 ini diawali dengan
terbitnya nota dinas penunjukan supervisor. Kemudian, Supervisor membuat
rencana pemeriksaan. Setelah, rencana pemeriksaan tersebut disetujui oleh Kepala
UP2, barulah terbit Surat Perintah Pemeriksaan (SP2). Paling lambat 5 hari
kerja setelah terbitnya Surat Perintah Pemeriksaan (SP2), Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan harus disampaikan kepada Wajib pajak.
4)
Peminjaman Dokumen
Untuk menunjang pemeriksaan pajak,
tentunya harus ada dokumen pendukung. Itulah mengapa Wajib Pajak harus
menyimpan dengan baik semua dokumen yang menjadi dasar pembukuan aau pencatatan
selama 10 tahun, sebagaimana yang telah dosebutkan di dalam UU KUP Pasal 28
Ayat 11 yang berbunyi “Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari
pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line
wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan
atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib
Pajak badan.”
Permintaan peminjaman dokumen ini
wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu 1 bulan sejak terbitnya
Surat Permintaan Peminjaman Dokumen Wajib Pajak. Selama kurun waktu tersebut,
terdapat dua kali Surat Peringatan, yakni Surat Peringatan I terbit 2 minggu
setelah terbitnya surat permintaan peminjaman dokumen, dan Surat Peringatan II
terbit 3 minggu setelah terbitnya surat permintaan peminjaman dokumen Wajib
Pajak.
5)
Pelaksanaan Pengujian
Kegiatan ini dilakukan oleh tim
pemeriksa pajak dengan memperhatikan temuan-temuan yang ada selama pemeriksaan
berlangsung. Pengujian didasarkan pada metode, teknik, dan prosedur pemeriksaan
yang sudah dituangkan ke dalam audit program. Audit program merupakan
bagian dari Audit Plan atau rencana pemeriksaan.
6)
Pemberitahuan hasil pemeriksaan (SPHP) dan Tanggapan
Tertulis
Surat Pemberitahuan Hasil
Pemeriksaan adalah surat yang berisi tentang hasil Pemeriksaan yang meliputi
pos-pos yang dikoreksi, nilai koreksi, dasar koreksi, perhitungan sementara
jumlah pokok pajak, dan pemberian hak kepada Wajib Pajak untuk hadir dalam
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. Atas penyampaian SPHP tersebut, Wajib Pajak
berhak memberikan tanggapan atas hasil pemeriksaan yang tercantum dalam SPHP
dalam jangka waktu 7 hari kerja setelah SPHP diterima oleh Wajib Pajak dan
dapat diperpanjang 3 hari jika ada alasan tertentu dengan mengirimkan Surat
Pemberitahuan Perpanjangan.
Tanggapan Wajib Pajak tersebut
isinya bisa menyetujui, menolak sebagian, atau menolak seluruhnya hasil
pemeriksaan tersebut. Direktorat Jenderal Pajak juga memfasilitasi adanya
pembahasan akhir hasil pemeriksaan antara Wajib Pajak dengan tim pemeriksa.
7)
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan
Dalam jangka waktu 3 hari kerja
sejak Wajib Pajak memberikan surat tanggapan atas Surat Pemberitahuan Hasil
Pemeriksaan kepada tim pemeriksa pajak, undangan pembahasan akhir hasil
pemeriksaan harus disampaikan kepada wajib pajak. Ketika WP hadir dalam
pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dalam hal Wajib Pajak menolak sebagian atau
menolak seluruhnya, Wajib Pajak berhak untuk meminta bantuan tim Quality Assurance untuk menengahi
perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan tim pemeriksa. Namun, apabila
Wajib Pajak tidak hadir, maka pembahasan akhir dianggap telah selesai
dilakukan, itu artinya Wajib Pajak menyetujui hasil pemeriksaan tim pemeriksa
pajak.
8)
Pelaporan, penerbitan ketetapan dan Pengembalian Dokumen
Pemeriksa pajak mencantumkan semua
informasi mengenai kegiatan pemeriksaan pajak ke dalam Kertas Kerja Pemeriksaan
(KKP). Kemudian, Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP) tersebut ditelaah oleh
supervisor sebelum dibuat Laporan Hasil Pemeriksaan. Setelah disetujui, barulah
dibuat Laporan Hasil pemeriksaan. Setelah itu, terbitlah nota penghitungan atas
kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang seharusnya. Setelah itu, terbitlah surat
ketetapan pajak.
Pemeriksa pajak harus mengembalikan
buku,catatan, dan dokumen yang dipinjam dalam rangka pemeriksaan kepada Wajib
Pajak. Pengembalian buku,catatan, dan dokumen tersebut harus dipenuhi dalam
jangka waktu 7 hari kerja sejak tanggal terbit Laporan Hasil pemeriksaan.
2.
Surat
Ketetapan Pajak dan Sanksi Pajak
a.
Surat
Ketetapan Pajak
Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah
Surat Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang memberitahukan
besarnya pajak yang terutang termasuk denda administrasi, kepada Wajib Pajak
(WP). Surat ketetapan pajak meliputi Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan,
Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
1) Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB)
a) Pengertian
Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran
pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
b)
Penerbitan SKPKB
SKPKB dapat diterbitkan
dalam jangka waktu 10 tahun dalam hal :
(a) Berdasarkan
hasil pemeriksaan/keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang
dibayar. Atas pajak yang tidak/kurang dibayar tersebut ditambah sanksi
administrasi bunga sebesar 2% per bulan maksimum 24 bulan (berlaku baik atas
PPh, PPN, maupun PPn BM).
(b) Surat
Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dan setelah
ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan
oleh Surat Teguran.
(c) Berdasarkan
hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan
selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0%
(d) Kewajiban
menyelenggarakan atau pencatatan tidak dipenuhi, sehingga tidak dapat diketahui
besarnya pajak yang terutang
(e) Kepada
wajib pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.
SKPKB hanya dapat diterbitkan terhadap
Wajib Pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain tidak
memenuhi kewajiban formal dan/ atau kewajiban material. Keterangan lain
tersebut adalah data konkret yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jendral
Pajak, antara lain berupa hasil konfirmasi faktur pajak dan bukti pemotongan
Pajak Penghasilan.
c)
Sanksi Administrasi
(a) Apabila
SKPKB dikeluarkan karena alasan pada poin 2)a dan 2)e maka jumlah kekurangan
pajak yang terutang dalam SKPKB ditambah dengan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% per bulan paling lama 24 bulan, dihitung sejak saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun
Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPKB.
(b) Apabila
SKPKB diterbitkan berdasarkan angka 2)b, 2)c dan 2)d (pada dasar/sebab
diterbitkan SKPKB), maka jumlah pajak dalam SKPKB ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar:
(1) 50%
dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak.
(2) 100%
dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang
dipungut, tidak atau kurang disetorkan, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak
atau kurang disetorkan.
(3) 100%
dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah yang tidak atau kurang dibayar
(c) Jangka
Waktu Penerbitan SKPKB
Dalam jangka waktu 5
tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun
Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKB.
Walaupun jangka waktu 5
tahun telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan
ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% dari jumlah pajak yang
tidak atau kurang bayar, apabila Wajib Pajak setelah jangka waktu tersebut
dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana
lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
2) Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
a)
Pengertian
Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
tambahan atas jumlah-jumlah pajak yang telah ditetapkan.
b)
Penerbitan SKPKBT
Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) diterbitkan apabila ditemukan data baru yang
mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan
pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
(SKPKBT).
c)
Sanksi SKPKBT
Jumlah kekurangan pajak
terutang dalam SKPKBT, ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 100 % dari jumlah kekurangan pajak tersebut. Sanksi administrasi berupa
kenaikan tidak dikenakan apabila SKPKBT diterbitkan berdasarkan keterangan
tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur
Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka
penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT).
3) Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar (SKPLB)
a) Pengertian
Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar (SKPLB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah
kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pada
pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang
b) Penerbitan
SKPLB
Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar (SKPLB) diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan, jumlah kredit
pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang
terutang. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan untuk :
(1)
Pajak Pengahsilan
apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
(2)
Pajak pertambahan Nilai
apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah
pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan
pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut, atau
(3)
Pajak Penjualan atas
Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah
pajak yang terutang.
4) Surat Ketetapan Pajak
Nihil (SKPN)
a) Pengertian
Surat Ketetapan Pajak
Nihil (SKPN) adalah surat ketetapan
pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit
pajak atau tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
b) Penerbitan
SKPN
Surat Ketetapan Pajak
Nihil (SKPN) diterbitkan apabila setelah dilakukan pemeriksaan jumlah kredit
pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang,
atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayran
pajak.
5) Surat Tagihan Pajak
(STP)
a) Pengertian
Surat Tagihan Pajak
(STP) adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi
berupa bunga dan/atau denda.
b) Penerbitan
STP
STP dikeluarkan apabila
:
(1) Pajak
Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar
(2) Dari
hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah
tulis dan/atau salah hitung.
(3) Wajib
Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga
(4) Pengusaha
yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur
pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu.
(5) Pengusaha
yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur
pajak secara lengkap (selain: identitas pembeli, nama, dan tandatangan).
(6) Pengusaha
Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur
pajak. Atau
(7) Pengusaha
Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak
Masukan sebagaimana dimaksud pada pasal 9 ayat 6a UU PPn 1984 dan perubahannya.
b.
Sanksi
Pajak
a) Pengertian
Sanksi perpajakan
merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
(norma perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi. Atau bisa dengan kata lain
sanksi perpajakan merupakan alat pencegahan (preventif) agar Wajib Pajak tidak
melanggar norma perpajakan.
Dalam undang-undang
perpajakan dikenal dua macam sanksi, yaitu :
1)
Sanksi pidana
Merupakan siksaan atau
penderitaan. Suatu alat terakhir atau benteng hukum yang digunakan fiskus agar
norma perpajakan dipatuhi. Menurut ketentuan dalam undang-undang perpajakan ada
3 macam sanksi pidana yaitu :
a) Denda
pidana
Sanksi berupa
denda pidana selain dikenakan kepada Wajib Pajak ada juga yang diancamkan
kepada pejabat pajak atau kepada pidah ketiga yang melanggar norma. Denda
pidana dikenakan kepada tindak pidana yang bersifat pelanggaran maupun bersifat
kejahatan.
b) Pidana
kurungan
Pidana kurungan
hanya diancamkan kepada tindak pidana yang bersifat pelanggaran. Dapat
ditujukan kepada Wajib Pajak, dan pihak ketiga. Karena pidana kurungan
diancamkan kepada si pelanggar norma itu ketentuannya sama dengan diancamkan
dengan denda pidana, maka masalahnya hanya ketentuan mengenai denda pidana
sekian itu diganti dengan kurungan selama-lamanya sekian.
c) Pidana
penjara
Pidana penjara
seperti halnya pidana kurungan, merupakan hukuman perampasan kemerdekaan.
Pidana penjara diancamkan terhadap kejahatan. Ancaman pidana penjara tidak ada
yang ditujukan kepada pihak ketiga, adanya kepada pejabat dan kepada Wajib
Pajak.
2)
Sanksi Administrasi
Merupakan pembayaran
kerugian kepada Negara, khususnya yang berupa bunga dan kenaikan.
a) Bunga
2% per bulan
No
|
Masalah
|
Cara
membayar/menagih
|
1
|
Pembetulan
sendiri SPT (SPT Tahunan atau SPT masa) tetapi belum diperiksa
|
SSP/STP
|
2
|
Dari
penelitian rutin:
PPh ps 25
tidak/kurang dibayar.
PPh ps 21, 22,
23 dan 26 serta PPn yang terlambat dibayar.
SKPKB, STP,
SKPKBT tidak/kurang dibayar atau terlambat dibayar.
SPT salah
tulis/salah hitung
|
SSP/STP
SSP/STP
SSP/STP
SSP/STP
|
3
|
Dilakukan
pemeriksaan, pajak kurang dibayar (maksimal 24 bulan)
|
SSP/SPKB
|
4
|
Pajak
diangsur/ditunda: SKPKB, SKKPP, STP
|
SSP/STP
|
5
|
SPT tahunan
PPh ditunda, pajak kurang dibayar.
|
SSP/STP
|
Catatan :
1. Sanksi
Administrasi berupa bunga dapat dibagi menjadi bunga pembayaran, bunga
penagihan dan bunga ketetapan.
2. Bunga
pembayaran adalah bunga karena melakukan pembayaran pajak tidak pada waktunya,
dan pembayaran pajak tersebut dilakukan sendiri tanpa adanya surat tagihan
berupa STP, SKPKB, dan SKPKBT. Dengan demikian bunga pembayaran umumnya dibayar
dengan menggunakan SSP, yaitu meliputi antara lain :
a. Bunga
karena pembetulan SPT
b. Bunga
karena angsuran/penundaan pembayaran
c. Bunga
karena terlambat membayar
d. Bunga
karena ada selisih antara pajak yang sebenarnya terutang dan pajak sementara.
3. Bunga
penagihan adalah bunga karena pembayaran pajak yang ditagih dengan surat
tagihan berupa STP, SKPKB, SKPKBT tidak dilakukan dalam batas waktu pembayaran.
Bunga penagihan umumnya ditagih dengan STP (KUP pasal 19(1)).
4. Bunga
ketetapan adalah bunga yang dimasukkan dalam surat ketetapan pajak tambahan
pokok pajak. Bunga ketetapan dikenakan maksimum 24 bulan. Bunga ketetapan
umumnya ditagih dengan SKPKB (KUP pasal 13 (2)).
b) Denda
Administrasi
No
|
Masalah
|
Cara membayar/menagih
|
1
|
Tidak/terlambat
memasukkan/menyampaiakn SPT
|
STP ditambah Rp 100.000, atau Rp
500.000, atau Rp 1.000.000
|
2
|
Pembetulan sendiri, SPT tahunan atau
SPT masa tetapi belum disidik.
|
SSP ditambah 150 %
|
3
|
Khusus PPN :
a. Tidak
melaporkan usaha
b. Tidak
membuat/mengisi faktur
c. Melanggar
larangan membuat faktur (PKP yang tidak dikukuhkan)
|
SSP/SKPKB (ditambah 2% denda dari
dasar pengenaan)
|
4
|
Khusus PBB:
a. SPT,
SKPKB tidak/kurang dibayar atau terlambat dibayar.
b. Dilakukan
pemeriksaan, pajak kurang dibayar.
|
STP+denda 2% (maksimum 24 bulan)
SKPKB+denda administrasi dari selisih
pajak yang terutang
|
c) Kenaikan
50 % dan 100 %
No
|
Masalah
|
Cara menagih
|
1
|
Dikeluarkan
SKPKB dengan perhitungan secara jabatan :
a. Tidak
memasukkan SPT :
1. SPT
tahunan (PPh 29)
2. SPT
tahunan (PPh 21, 23, 26 dan PPN)
b. Tidak
menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 KUP
c. Tidak
memperlihatkan buku/dokumen, tidak memberi keterangan, tidak member bantuan
guna kelancaran pemeriksaan, sebagaimana dimaksud pasal 29
|
SKPKB ditambah
kenaikan 50 %
SKPKB ditambah
kenaikan 100 %
SKPKB
50 % PPh pasal
29
100 % pasal
21, 23, 26 dan PPN
SKPKB
50 % PPh pasal
29
100 % pasal 21, 23,
26 dan PPN
|
2
|
Dikeluarkan
SPKPBT karena ditemukan data baru, data semula yang belum terungkap setelah
dikeluarkan SKPKB
|
SKPKBT 100 %
|
3
|
Khusus PPN:
Dikeluarkan
SKPKB karena pemeriksaan, dimana PKP tidak seharusnya mengkompensasi selisih
lebih, menghitung tariff 0% diberi restitusi pajak.
|
SKPKB 100 %
|
3.
Surat
Keberatan dan Jawaban Surat Keberatan
a. Pengertian
Surat Keberatan
Surat Keberatan adalah surat yang diajukan oleh Wajib Pajak
kepada Direktur Jenderal Pajak mengenai keberatan terhadap suatu surat
ketetapan pajak atau pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga.
b. Ketentuan mengenai pengajuan keberatan
Ketentuan
dan syarat pengajuan keberatan diatur dalam Pasal 25 UU KUP jo
Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 194/PMK.03/2007 adalah sebagai berikut:
1)
Keberatan
diajukan oleh Wajib Pajak dengan menyampaikan surat keberatan
2)
Surat
keberatan disampaikan oleh Wajib Pajak ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar
dan/atau tempat PKP dikukuhkan melalui:
a) penyampaian langsung, termasuk disampaikan ke Kantor
Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan dalam wilayah kerja KPP tempat
Wajib Pajak dikukuhkan. Penyampaian surat keberatan diberikan Bukti Penerimaan
Surat.
b) pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c) cara lain, meliputi: melalui perusahaan jasa ekspedisi atau
jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau e-Filing melalui ASP.
c. Tata cara penyelesaian keberatan
1)
Wajib
Pajak dapat
mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
a) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, kecuali Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar berdasarkan Pasal 13A Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009.
b) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
c) Surat Ketetapan Pajak Nihil;
d) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
e) Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2)
Pengajuan
keberatan yang dituangkan dalam bentuk surat keberatan harus memenuhi syarat
sbb:
a) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
b) mengemukakan jumlah pajak yang
terutang atau jumlah pajak yang dipotong
atau dipungut
atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan
disertai alasan- alasan yang
menjadi dasar penghitungan.
c) 1 (satu) surat keberatan diajukan hanya untuk 1
(satu) surat ketetapan pajak, untuk 1
(satu) pemotongan pajak, atau untuk 1 (satu)
pemungutan pajak;
d) Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar
paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir
hasil pemeriksaan;
e) diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak
oleh pihak ketiga kecuali Wajib Pajak
dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut
tidak dapat dipenuhi karena keadaan
di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeur); dan
f) surat keberatan ditandatangani oleh
Wajib Pajak, dan dalam hal surat keberatan
ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat
keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat
kuasa khusus;
3)
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat
ketetapan pajak. Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar
paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir
hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
4)
Dalam hal Surat Keberatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak
tidak memenuhi persyaratan, Wajib Pajak dapat melakukan perbaikan atas Surat
Keberatan tersebut dan menyampaikan kembali sebelum jangka waktu 3 (tiga)
bulan.
5)
Surat keberatan yang tidak memenuhi persyaratan bukan
merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan dan tidak diterbitkan
Surat Keputusan Keberatan.
6)
Pembukuan, pencatatan, data, informasi, atau keterangan lain
yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan tidak dipertimbangkan dalam
penyelesaian keberatan, kecuali pembukuan, catatan, data, informasi, atau
keterangan lain tersebut berada di pihak ketiga dan belum diperoleh Wajib Pajak
pada saat pemeriksaan.
7)
Direktorat Jenderal Pajak dalam janga waktu 12 (dua belas bulan)
sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus member keputusan. Keputusan
Direktorat Jenderal Pajak dapat berupa :
a) Mengabulkan seluruhnya
b) Mengabulkan sebagian
c) Menolak
d) Menambah besarnya jumlah pajak yang
masih harus dibayar.
8)
Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas bulan) telah
terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan Surat Keputusan
Keberatan, keberatan yang diajukan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Direktur
Jenderal Pajak wajib menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan keberatan
Wajib Pajak.
9)
Apabila pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau
seluruhnya kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan
bunga sebesar 2% per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan
ketentuan :
a) Untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dihitung sejak tanggal
pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak dampai dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan.
b) Untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil
dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung sejak tanggal penerbitan surat
ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan.
10)
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan
sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50 %
(lima puluh persen) darijumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi
dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
11)
Tetapi apabila kemudian Wajib Pajak mengajukan permohonan
banding atas Surat Keputusan Keberatan, sanksi tersebut tidak dikenakan.
12)
Apabila pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau
seluruhnya, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran
tersebut dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan ketentuan sebagai
berikut :
a) Untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dihitung sejak tanggal
pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya
Surat Keputusan Keberatan, atau
b) Untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil
dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung sejak tanggal penerbitan surat
ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan.
4.
Banding
a.
Pengertian Banding
Menurut Pasal 1
angka 6 UU Pengadilan Pajak yaitu Banding adalah upaya
hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak
terhadap suatu keputusan yang
dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.
Apabila Wajib Pajak masih merasa
tidak puas dengan keputusan yang diterbitkan oleh pihak Direktorat Jenderal
Pajak atas keberatan yang diajukannya tersebut,
maka Wajib Pajak masih memiliki kesempatan hukum pada tingkat yang lebih tinggi
untuk mendapatkan keadilan dengan mengajukan permohonan banding ke Pengadilan
Pajak.
Badan
Peradilan Pajak adalah lembaga yang tidak memiliki hirarki dengan Direktorat Jenderal Pajak
sehingga lebih
independen dan kredibel dalam memutuskan suatu sengketa pajak
daripada pejabat penelaah keberatan di kanwil Direktorat Jenderal Pajak.
Sama halnya dengan pengajuan
keberatan, untuk dapat mengajukan banding, Wajib Pajak sebagai pemohon banding
juga harus memperhatikan sejumlah ketentuan dan persyaratan. Ketentuan dan
persyaratan banding ini diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (UU KUP) dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak (UU Pengadilan Pajak).
b. Sengketa Banding
Sengketa pajak dalam proses banding atau
sering disebut sengketa banding adalah sengketa yang timbul dalam bidang
perpajakan antara wajib pajak dengan fiskus mengenai keputusan keberatan yang
tidak disetujui oleh wajib pajak. Seperti halnya dengan keberatan, Wajib Pajak
atau penanggung pajaklah yang harus mengajukan permohonan banding. Sengketa banding dapat dikategorikan
sebagai berikut:
1) Sengketa
Formal
Sengketa formal
timbul apabila WP atau fiskus atau keduanya tidak mematuhi prosedur dan tata
cara yang telah ditetapkan oleh UU perpajakan, khususnya UU KUP dan UU
Pengadilan Pajak. Bagi fiskus, UU KUP telah menetapkan dan prosedur tata cara
pemeriksaan pajak, penerbitan ketetapan pajak, sempai penerbitan keputusan
keberatan. Apabila fiskus melanggar ketentuan tersebut, maka pelanggaran itulah
yang menimbulkan sengketa formal dari pihak fiskus. Contohnya fiskus
menerbitkan SKP atau Surat Keputusan Keberatan setelah melampaui jangka waktu
yang ditetapkan.
Di lain pihak,
sengketa formal dari pihak WP bisa terjadi apabila WP tidak melaksanakan
prosedur dan tata cara yang ditetapkan dalam UU KUP maupun UU Pengadilan pajak.
Contohnya WP tidak mengajukan keberatan atau banding dalam jangka waktu yang
telah ditetapkan.
2) Sengketa
Material
Sengketa
material atau lazim disebut materi sengketa terjadi apabila terdapat perbedaan
jumlah pajak yang terutang atau terdapat perbedaan jumlah pajak yang lebih
dibayar (dalam kasus restitusi) menurut perhitungan fiskus yang tercantum pada
ketetapan pajak- dengan jumlah menurut perhitungan Wajib Pajak. Perbedaan
tersebut bisa timbul karena adanya perbedaan pendapat mengenai :
a) Dasar
hukum yang seharusnya digunakan;
b) Persepsi
atas ketentuan peraturan pajak;
c) Perselisihan
atas suatu transaksi tertentu; dll.
Hal itu dapat mengakibatkan jumlah pajak
yang ditetapkan oleh fiskus menjadi berbeda dibandingkan dengan jumlah pajak
menurut perhitungan Wajib Pajak dan perbedaan jumlah pajak menurut fiskus
dengan WP itulah yang merupakan sengketa material. Baik Sengketa formal maupun sengketa material
sangat menentukan hasil akhir putusan banding. Dalam proses banding, hakim akan
melakukan pemeriksaan formal terlebih dahulu sebelum mulai memeriksa materi
sengketa.
Permohonan banding tidak akan diproses
lebih lanjut oleh pengadilan pajak tanpa pemeriksaan materi sengketa apabila
banding WP tidak memenuhi ketentuan formal yang telah ditetapkan. Sebaliknya
apabila ketetapan pajak atau keputusan keberatan tidak memenuhi ketentuan
formal, maka pengadilan pajak dapat menyatakan ketetapan pajak ataupun
keputusan keberatan harus batal demi hukum. Dalam hal ini, permohonan banding
WP dapat diterima seluruhnya atau diterima sebagian, tergantung hasil pemeriksaan
keseluruhan oleh hakim pengadilan pajak.
c.
Persyaratan
Pengajuan Banding
Dalam mengajukan banding, Wajib
Pajak diwajibkan untuk mengikuti ketentuan dan persyaratan yang diatur dalam UU
KUP di Pasal 27dan UU Pengadilan Pajak di Pasal 35, Pasal 36 serta Pasal 37.
Persyaratan ini biasanya disebut sebagai persyaratan formal dan persyaratan
material pengajuan banding. Persyaratan formal dan material pengajuan banding
yang harus dipenuhi, yaitu antara lain :
1)
Syarat Formal menurut Pasal 35 Undang-Undang Pengadilan
Pajak:
a)
Diajukan dengan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
kepada Pengadilan Pajak.
b)
Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
diterima keputusan yang dibanding kecuali diatur lain dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan atau dalam hal ini yaitu terjadi force majeur.
2)
Syarat Material menurut Pasal 36 Undang-Undang Pengadilan
Pajak:
a)
Terhadap 1 (satu) keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.
b)
Banding diajukan dengan disertai alasan yang jelas, dan
dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.
c)
Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang
dibanding.
d)
Dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak
yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang
dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen).
Beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam hal banding:
1)
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada
badan peradilan pajak terhadap keputusan keberatan yang ditetapkan oleh Dirjen
Pajak.
2)
Putusan badan peradilan pajak bukan merupakan keputusan tata
usaha negara.
3)
Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajibannya
membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
4)
Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya,
seorang pengurus, atau kuasa hukumnya.
5)
Apabila selama proses Banding, pemohon Banding meninggal
dunia, Banding dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli
warisnya, atau pengampunya dalam hal pemohon Banding pailit.
6)
Apabila selama proses Banding pemohon Banding melakukan
penggabungan, peleburan, pemecahan/ pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan
dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban karena
penggabungan, peleburan, pemecahan /pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud.
7)
Pemohon Banding dapat melengkapi Surat Bandingnya untuk
memenuhi ketentuan yang berlaku sepanjang masih dalam jangka waktu 3 (tiga)
bulan sejak tanggal diterima keputusan yang dibanding kecuali force majeur.
8)
Terhadap Banding dapat diajukan surat pernyataan pencabutan
kepada Pengadilan Pajak.
9)
Banding yang dicabut kemudian dihapus dari daftar sengketa
dengan:
a)
Penetapan Ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan
diajukan sebelum sidang dilaksanakan.
b)
Putusan Majelis/ Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal
surat pernyataan pencabutan diajukan dalam sidang atas persetujuan terbanding.
c)
Banding yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan
maka tidak dapat diajukan kembali.
d)
Dapat meminta kepada Majelis kehadiran saksi.
Beberapa
hal yang dikecualikan dalam pengajuan Banding :
1)
Pengajuan Banding dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan tidak
mengikat apabila dalam jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena
keadaan diluar kekuasaan pemohon banding.
2)
Pemohon Banding tidak harus melampirkan bukti pembayaran 50
% pajak yang terutang, sepanjang Banding diajukan atas Surat Ketetapan Pajak
Nihil (SKPN) atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).
d. Persiapan Persidangan
Banding yang diajukan oleh oleh
Wajib Pajak atau penanggung Pajak kepada Pengadilan Pajak mengikuti beberapa
ketentuan yaitu :
1)
Pengadilan Pajak meminta Surat Uraian Banding atau Surat
Tanggapan atas Surat Banding kepada terbanding dalam jangka waktu 14 (empat
belas) hari sejak tanggal diterima Surat Banding.
2)
Dalam hal pemohon Banding mengirimkan Surat atau dokumen
susulan kepada Pengadilan Pajak, jangka waktu 14 (empat belas) hari dihitung
sejak tanggal diterima surat atau dokumen susulan dimaksud.
3)
Terbanding menyerahkan Surat Uraian Banding atau Surat
Tanggapan dalam jangka waktu:
a)
3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim permintaan Surat Uraian
banding; atau
b)
1 (satu) bulan sejak tanggal dikirim permintaan Surat
Tanggapan.
4)
Salinan Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan oleh
Pengadilan Pajak dikirim kepada pemohon Banding dalam jangka waktu 14 (empat
belas) hari sejak tanggal diterima.
5)
Pemohonan Banding dapat menyerahkan Surat Bantahan kepada
Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima
salinan Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan.
6)
Salinan Surat Bantahan dikirimkan kepada terbanding dalam
jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima Surat Bantahan.
7)
Apabila terbanding atau pemohon Banding tidak memenuhi
ketentuan penyerahan Surat Uraian Banding dalam batas waktu yang telah
ditentukan maka Pengadilan Pajak tetap melanjutkan pemeriksaan Banding.
8)
Pemohon Banding dapat memberitahukan kepada Ketua untuk
hadir dalam persidangan guna memberikan keterangan lisan.
e. Proses Pelaksanaan Banding
Prosedur dan Tata Cara banding,
termasuk batasan jangka waktunya, telah ditetapkan di dalam ketentuan UU Pengadilan
Pajak.
1)
Proses persidangan untuk Banding sudah dimulai dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Banding. Ketua Pengadilan
Pajak menunjuk Hakim Tunggal atau Majelis terdiri dari 3 (tiga) orang Hakim
untuk memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.
2)
Untuk proses persidangan dalam memeriksa dan memutus
Sengketa Pajak yang dipimpin oleh Hakim Tunggal biasanya dilakukan untuk
memeriksa dan memutus Sengketa Pajak dalam hal pemeriksaan terhadap:
a) Sengketa pajak tertentu;
b) Tidak dipenuhinya salah satu
ketentuan pemenuhan ketentuan formal pengajuan banding atau kesalahan tulis
dan/atau kesalahan hitung dalam putusan Pengadilan Pajak;
c) Sengketa yang berdasarkan
pertimbangan hukum bukan merupakan wewenang Pengadilan Pajak.
Pemeriksaan jenis ini diistilahkan
sebagai Pemeriksaan dengan Acara Cepat. Pemeriksaan dengan acara cepat ini
dilakukan tanpa Surat Uraian Banding dan tanpa Surat Bantahan.
3.
Apabila suatu sengketa pajak, pengajuan bandingnya telah
memenuhi ketentuan formal, maka pemeriksaan dan proses persidangannya akan
dilakukan dengan acara biasa yang dilakukan oleh Majelis Hakim yang terdiri
dari 3 (tiga) orang Hakim dimana 1 (satu) orang Hakim sebagai Ketua dan 2 (dua
orang Hakim lainnya sebagai Anggota.
4.
Dalam proses pemeriksaan, Hakim Ketua memanggil Terbanding
dan dapat memanggil Pemohon Banding untuk memberikan keterangan lisan melalui
undangan tertulis dengan tanggal dan hari siding yang telah ditentukan.
5.
Dalam proses persidangan, atas permintaan salah satu pihak
yang bersengketa atau karena jabatan, Hakim Ketua dapat memerintahkan saksi
untuk hadir dan didengar keterangannya dalam persidangan. Saksi yang
diperintahkan oleh Hakim Ketua ini wajib datang di persidangan dan tidak
diwakilkan. Apabila saksi yang telah dipanggil ini tidak hadir dalam
persidangan dan diduga karena disengaja serta Majelis tidak dapat mengambil
putusan tanpa kehadiran saksi tersebut, maka Hakim Ketua dapat meminta bantuan
polisi untuk membawa saksi ke persidangan. Biaya untuk mendatangkan saksi ke
persidangan menjadi beban yang ditanggung oleh pihak yang memintanya.
6.
Proses persidangan ini dapat dilakukan dalam beberapa kali.
7.
Dalam hal Terbanding tidak hadir pada persidangan tanpa
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan walaupun ia telah diberitahu/diundang,
maka persidangan tetap dapat dilanjutkan tanpa dihadiri oleh Terbanding.
8.
Alat bukti yang dapat digunakan dalam persidangan untuk
meyakinkan Majelis Hakim dalam mengambil Putusan dapat berupa:
a) Surat atau tulisan;
b) Keterangan ahli;
c) Keterangan para saksi;
d) Pengakuan para pihak; dan/atau
e) Pengetahuan Hakim
f.
Putusan
Banding
Putusan Banding adalah putusan badan
peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan
oleh Wajib Pajak. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pengadilan Pajak dapat mengeluarkan
putusan sela atas Gugatan berkenaan dengan permohonan penggugat agar tindak
lanjut pelaksanaan penagihan Pajak ditunda selama pemeriksaan Sengketa Pajak
sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan Pajak. Putusan Pengadilan Pajak
dapat berupa:
1)
Dikabulkan seluruhnya;
2)
Dikabulkan sebagian;
3)
Ditolak;
4)
Bertambah besarnya
jumlah pajak yang masih harus dibayar
5)
Membetulkan kesalahan
tulis dan/atau kesalahan hitung yang menambah pajak yang masih harus dibayar
6)
Tidak dapat diterima;
7)
Membatalkan.
Putusan
pemeriksaan dengan acara biasa atas Banding diambil dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan sejak Surat Banding diterima. Dalam hal-hal khusus, jangka waktu
ini dapat diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan.
Sedangkan
Putusan pemeriksaan dengan acara cepat terhadap Sengketa Pajak tertentu yang
dinyatakan tidak dapat diterima, diambil dalam jangka waktu sebagai berikut:
a) 30 (tiga puluh) hari sejak batas
waktu pengajuan Banding dilampaui;
b) 30 (tiga puluh) hari sejak Banding
diterima dalam hal diajukan setelah batas waktu pengajuan dilampaui.
Berkenaan dengan putusan banding ini, maka :
1)
Terhadap putusan pengadilan pajak ini maka tidak dapat lagi
diajukan Gugatan, Banding, atau kasasi.
2)
Putusan Pengadilan Pajak langsung dapat dilaksanakan dengan
tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan
perundang-undangan mengatur lain.
3)
Apabila putusan Pengadilan Pajak menolak atau mengabulkan
sebagian, terbanding dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100%
(seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan
pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
4)
Apabila putusan Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian atau
seluruh Banding, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah
imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku sebagai berikut :
a)
untuk surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, atau
b)
untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar dihitung sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai
dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding
5)
Salinan putusan atau salinan penetapan Pengadilan Pajak
dikirim kepada para pihak dengan surat oleh Sekretaris dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari sejak tanggal putusan Pengadilan Pajak diucapkan, atau dalam
jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal putusan sela diucapkan.
6)
Putusan Pengadilan Pajak harus dilaksanakan oleh Pejabat
yang berwenang dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
diterima putusan.
7)
Pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan Pajak
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterima maka
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan kepegawaian yang berlaku.
8)
Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan
kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung. Putusan Pengadilan
Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan
Hakim.
g.
Peninjauan Kembali
Putusan Peninjauan Kembali adalah
putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh
Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding dari
Badan Peradilan Pajak.
Apabila Wajib Pajak masih belum puas
dengan Putusan Banding, Wajib Pajak masih memiliki hak mengajukan Peninjauan
Kembali kepada Mahkamah Agung, Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat
diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalu Pengadilan Pajak.
Pengajuan permohonan Peninjauan
Kembali dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung
sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim
Pengadilan Pidana memperoleh kekuatan hokum tetap atau ditemukannya bukti
tertulis baru atau sejak putusan banding dikirim. Mahkamah Agung mengambil
keputusan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan Peninjauan Kembali
diterima.
5.
Kasus-Kronologi Kasus Tarif Impor Film 2011
Juli 2010 : Sesuai
dengan jadwal yang sudah ditetapkan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
mengaudit tiga perusahaan importir film: PT Camilla Internusa Film, PT Amero
Mitra Film, dan PT Satrya Perkasa Esthetika Film. Dalam audit tersebut, Ditjen
Bea dan Cukai menghitung ulang bea masuk film impor ke Indonesia.
30 Desember
2010 : Terjadi perubahan susunan direksi di Camilla
Internusa, Amero Mitra, dan Satrya Perkasa. Haris Lasmana, yang juga salah satu
petinggi jaringan bioskop 21, mundur dari direksi Camila. Seluruh saham Amero
atas nama Suryo Suherman dan Saachen Haris Lasmana dijual kepada Suprayitno dan
Prapti Rahayu, pegawai Grup 21. Keduanya menjadi direksi baru Amero. Bersamaan
dengan itu, Prapti mundur dari kursi direktur Satrya.
Awal 2011 : Badan
Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) yang dipimpin Deddy Mizwar mengeluhkan
pajak produksi film nasional yang jauh lebih tinggi daripada pajak film impor
kepada Kementerian Keuangan.
10 Januari
2011 : Setelah melakukan audit dari data dua tahun terakhir,
Kementerian Keuangan menemukan bahwa para importir film tidak ada yang pernah
membayar kewajiban pajaknya sesuai ketentuan UU nomor 10 tahun 1995 yang telah
diubah dengan UU nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan. Selama ini importir
film melanggar ketentuan yang berlaku dengan hanya melaporkan kewajiban pajak
seharga cetak kopi film dan bukan sesuai nilai transaksi pembelian film.
Padahal untuk ketentuan pajak untuk barang yang berhubungan dengan royalti
harus menyertakan komponen royalti ke dalam bea masuk. Surat Edaran (SE) Dirjen
Pajak No. 3 tanggal 10 Januari 2011 meminta importir film membayar pajak impor
yang benar dan wajar sesuai ketentuan peraturan perundangan (UU Pajak dan UU Kepabeanan)
yang ada dan berlaku.
12 Januari
2011: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memberikan surat
tagihan kepada semua importir film untuk melunasi kewajiban pajak beserta denda
sebesar 10-100 persen. Batas waktu pemenuhan kewajiban ini adalah 12 Maret
2011. Jika importir belum melunasi kewajibannya pada 12 Maret 2011 Bea dan
Cukai akan memblokir kegiatan importir. Kalau perusahaan terus menunggak,
pemerintah berwenang menyita aset perusahaan untuk melunasi hutang pajak.
18 Maret
2011: Para importir film melunasi tagihannya kecuali tiga
perusahaan PT Camila Internusa, PT Satrya Perkasa Esthetika dan PT Amero Mitra.
Dua perusahaan pertama adalah importir film-film Motion Pictures Association
yang terdiri dari enam perusahaan film Amerika (Walt Disney, Paramount, Sony
Pictures, 20th Fox Movies, Universal Pictures dan Warner Bros). Ketiga
perusahaan ini menguasai lebih dari 60% pangsa film impor di Indonesia yang
merupakan jenis film impor paling laris. Ketiga perusahaan ini dilarang
mengimpor film sampai kasus tunggakan pajaknya selesai. Total kekurangan
pembayaran bea masuk pada 2008–2010 sebesar Rp 30 miliar ditambah denda 100%
(10 kali lipat). Pemerintah menyerahkan perkara keberatan tiga importir film
atas hutang pajak berikut dendanya ke pengadilan pajak. Perkara banding baru
bisa ditangani Pengadilan Pajak jika importir film membayar sebagian hutangnya.
5 April 2011:Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik menyatakan akan diadakan pertemuan dengan
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri Keuangan Agus
Martowardojo tentang persoalan pajak film impor. Ketiga Menteri ini akan
menyepakati pengenaan pajak tunggal atas impor film. Hasil pertemuan ini akan
diajukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mendapat persetujuan.
18 Mei 2011:
Menteri Keuangan menyatakan bahwa salah satu dari tiga
perusahaan impor film yang bermasalah sudah membayar pokok tagihan pajaknya.
Perusahaan ini adalah PT Amero Mitra. Dengan begitu blokir impor terhadap
perusahaan ini dicabut tanpa menunggu putusan banding dari Pengadilan Pajak.
Sedangkan dua perusahaan tersisah masih menunggu putusan banding, dan status
blokir terkait aktifitas bisnisnya masih terus berjalan/
Daftar
Pustaka
Mardiasmo, 2009, Perpajakan, Yogyakarta, Penerbit
ANDI
Himpunan Peraturan Perundang-undangan, 2013,
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Bandung, Fokusmedia
Republik Indonesia, 2013, Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 9/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan,
Jakarta
Republik Indonesia, 2013, Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 17/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pemeriksaan, Jakarta
http://pajak.go.id/content/keberatan-pajak-tingkat-lanjut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar