Oleh: Briyan Efflin
Syahputra
Auditing merupakan
kegiatan pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak yang independen (auditor) secara
kritis dan sistematis terhadap laporan keuangan yang telah disusun sebelumnya
oleh pihak manajemen suatu organisasi, dengan tujuan untuk dapat memberikan
opini atau pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut (Surfeliya, Andreas, dan Yusralaini, 2014). Hasil akhir
dari proses auditing adalah laporan
audit. Pada laporan audit tersebut, terdapat opini yang dinyatakan oleh auditor
atas laporan keuangan yang telah mereka periksa. Tentunya dalam penentuan opini
tersebut dibutuhkan profesionalisme dari para auditor agar opini yang diberikan
tersebut tepat dan tidak menyesatkan para pengguna laporan keuangan tersebut. Akan
tetapi, beberapa tahun ini telah muncul banyak kasus yang membuat masyarakat
meragukan kinerja dari auditor dalam memberikan opini mereka terhadap suatu
laporan keuangan. Kasus terbaru yang cukup menyita perhatian publik adalah
kasus suap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang tertangkap tangan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang menerima suap oleh beberapa pihak
dari Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes
PDTT) RI. Pemberian suap ini bertujuan agar BPK (selaku auditor) dapat
memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap laporan keuangan
Kemendes PDTT RI (Liputan 6, 2017).
Melihat
kasus tersebut, secara tidak langsung membuat publik sangat mempertanyakan
kinerja dari BPK selaku lembaga yang bertugas untuk mengaudit laporan keuangan
lembaga-lembaga yang terdapat di pemerintahan Indonesia. Lumrah sekali, jika muncul
banyak pertanyaan terkait dengan ketepatan opini yang dikeluarkan oleh BPK
selama ini. Mungkin saja, telah banyak lembaga di pemerintahan Indonesia, yang harusnya
tidak layak mendapatkan opini WTP, akan tetapi karena adanya tindakan suap
(seperti pada kasus ini) dari lembaga tersebut, membuat BPK dengan enaknya
memberikan opini WTP. Terkesan BPK dengan sengaja mengobral opini WTP kepada
lembaga yang sedang mereka audit.
Munculnya
kasus seperti ini, membuat banyak pihak akan meragukan profesionalisme auditor BPK.
Harusnya auditor tersebut memahami betul bahwa dengan menerima suap tersebut,
mereka secara sengaja telah melanggar kode etik dari profesi mereka
(Independensi dan Integritas). Perihal opini WTP, tentunya organisasi manapun
akan selalu berusaha untuk mendapatkan opini tersebut. Dengan memperoleh opini
WTP, maka suatu organisasi akan dianggap telah membuat laporan keuangannya sesuai
dengan standar yang berlaku, sehingga organisasi tersebut akan dianggap baik
kinerjanya. Maka tidak heran, setiap organisasi selalu melakukan berbagai cara
untuk memperoleh opini tersebut, termasuk melakukan suap terhadap auditor. Sehingga
seharusnya perlu sekali diperhatikan berbagai faktor yang dapat meningkatkan profesionalisme
auditor, seperti tidak menugaskan auditor yang memiliki hubungan pribadi dengan
calon kliennya, memberikan sosialisasi terkait dengan hukuman yang akan
diterima jika mereka melanggar kode etik, pemilihan auditor yang akan
ditugaskan dan lain sebagainya. Harapannya dengan mengimplementasikan faktor-faktor
tersebut, kasus-kasus pelanggaran (seperti pada kasus Kemendes PDTT RI) dapat
diminimalisir.
Referensi
Liputan 6. (2017). Jual Beli Opini WTP. Retrieved July 26, 2017, from
http://news.liputan6.com/read/2968554/jual-beli-opini-wtp
Surfeliya, F., Andreas, & Yusralaini. (2014).
Professional Influence Skeptisisme, Competention, ,Audit Situation, Audit
Ethics, Experience and Expertise Make an audit of to Accuracy of Audit Opinion
by Auditor BPK. JOM FEKON, 1(2), 1–15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar